Halaman

KEDZALIMAN TERHADAP ALLAH SWT. (SYIRIK)



Kedzaliman manusia terhadap allah, merupakan dzalim yang terbesar karena telah kufur (mengingkari allah), syirik (menyekutukan allah),dan nifaq (menyembunyikan sikap kufur dengan memperlihatkan seolah-olah beriman kepada allah). Syirik merupakan pandangan dan kepercayaan yang mengingkari bahwa tuhan adalah maha esa dan maha kuasa. Akibatnya adalah bahwa manusia yang musrik itu mengangkat mengangkat dan mengagungkan sesama alam atau sesame manusia lebih dari semestinya.
Kepercayaan, dikenal sebagai system mitologis adalah pandangan yang tidak benar kepada alam sekitar atau manusia (misalnya raja yang dianggap keturunan dewa,dll), pandangan yang tidak sejalan dengan sunnatullah dan taqdir untuk ciptaannya disebut dengan kedzaliman. Karena syirik mempunyai makna menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya dan berdampak merendahkan harkat dan martabat manusia. Segala sesuatu yang bersifat tidak mengesakan allah, misalnya:
a.       Menyembah patung, menyembah dewa, menyembah manusia yang dianggap sebagai tuhan. Yang lebih ringkasnya adalah menyembah selain allah swt.
b.      Menganggap allah mempunyai  bapak dan ibu seperti makhluk lainnya.
c.       Mempercayai yang dikatakan oleh peramal.
Firman allah swt. Dalam Q.S Luqman ayat 13:
Artinya : dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan allah, sesungguhnya mempersekutukan (allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”
Allah swt. Berfirman dalam Q.S Al-baqarah 165 :
Artinya: dan diantara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan menyembah selain allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan allah semuanya dan bahwa allah amat berat siksaannya (niscaya merekaa akan menyesal.
Mereka mengaku menyembah kepada Allah, tetapi mereka rela mengabaikan ibadah kepada-Nya demi memenuhi keinginannya memperoleh materi. Mereka mengaku beriman kepada Allah, tetapi mereka lebih mengutamakan hukum buatan manusia ketimbang hukum-Nya. Mereka mengaku mengagungkan Allah, tetapi takutnya kepada sesama melebihi takutnya kepada-Nya. Mereka melawan rasionalitasnya sendiri.
Mereka mematikan akal fikirannya sendiri. Mereka meruntuhkan sisi kemanusiannya yang paling penting. Itulah ciri orang kafir, orang yang menyembunyikan kebenaran di balik cintanya kepada kehidupan dunia, walaupun penampilannya kelihatan ‘cerdas’ dan uraiannya menggunakan bahasa ‘akademis’. Sementara orang beriman, orang yang berani mempertunjukkan kebenaran (dalam kata dan perbuatan), mencintai Tuhannya melebihi cintanya kepada apapun: وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً لِّلّهِ (walladzĭna āmanŭ asyaddu hubban lillāɦi, adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah), walaupun penampilannya cuma sederhana  dan bahasnya sangat populis. Mereka ini bukan tidak cinta kepada selain-Nya, tetapi cintanya kepada yang lain hanyalah pantulan dari cintanya kepada Rabb-nya. Itu sebabnya iman, keyakinan, serta ideologi mereka tidak bisa dibeli dengan apapun. Mata kepala mereka tidak hijau melihat tumpukan uang. Mata hati mereka tidak silau dengan pangkat dan jabatan. Hakikat semua itu telah tersingkap di jiwanya, bahwa semua itu tidak punya nilai apapun dibanding dengan-Nya. Tidak ada satu pun yang meng-ada tanpa diadakan oleh-Nya. Tidak ada satu pun yang bergerak tanpa digerakkan oleh-Nya. Yang ada hanya Dia. Maka yang masuk akal untuk dicintai juga hanya Dia. Mangakui bahwa semua ini milik allah bukan berdasar keterpaksaan (ketika tak punya pilihan lain selain mengakuinya), bukan berdasarkan ancaman (azab neraka). Pengakuannya berdasar kejernihannya menggunakan akal. Pengakuannya berdasarkan perenungan akan sesuatu yang berada di balik yang tampak. Pengakuannya bersifat sukarela.
 Kalau orang beriman mendemonstrasikan betapa dahsyatnya cintanya kepada Allah, maka orang kafir akan mempertunjukkan betapa dahsyatnya azab-Nya nanti di akhirat. Banyak orang yang protes pernyataan ini: وَأَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ (wa annallāɦa syadĭdul ‘adzābi, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya). Bagi mereka, Allah tidak mungkin memiliki azab sedahsyat itu karena bertentangan dengan sifat-sifat pemaaf dan pemurah-Nya. “Bukankah rahmat Allah melebihi murka-Nya?” Kilahnya. Betul sekali. Untuk itu, penalaran dari pernyataan itu ialah, azab yang dahsyat itu jauh lebih sedikit dibanding dengan rahmat yang diterima oleh mereka yang menjadi penghuni surga. Sebab kata “melebihi” menunjukkan adanya, dan bukan tiadanya. Kalau memang azab Allah—betapa pun dahsyatnya—jauh lebih ringan disbanding dengan rahmat-Nya, lalu apa makna kata شَدِيدُ (syadĭdu, amat berat) di situ? Maknanya, Allah bermaksud mengingatkan kepada mereka yang melakukan keingkaran dan kezaliman dengan menyembunyikan kebenaran yang datang dari-Nya setelah mendapatkan bayaran tertentu—yang dengan bayaran itu mereka bersenang-senang—bahwa sehebat apapun kesenangan itu pada hakikatnya tidak ada apa-apanya dibanding azab Allah kelak di akhirat. Jadi azab Allah akan jauh lebih berat mereka rasakan ketimbang akumulasi semua kesenangan duniawi itu. Sehingga kelak mereka akan menyesali perbuatan mereka itu beserta kesenangan yang mereka dapatkan.
Imâm Jalâluddîn as-Suyûthî mengeluarkan dalam Lubâb an-Nuqûli fî Asbâb an-Nuzûlinya (Juz. 5, 4/an-Nisâ’) dengan menisbahkan kepada Ibnu Abî Hâtim dalam Tafsîr Ibn Abî Hâtimnya; Serta menisbahkan kepada ath-Thabranî dalam al-Mu’jam al-Kabîrnya:
“Dikemukakan oleh Ibnu Abî Hâtim dan ath-Thabranî yang bersumber dari Abû Ayyûb al-Anshârî. Abû Ayyûb al-Anshârî berkata: “Ada seorang lelaki yang datang menghadap Nabi SAW. dan (lelaki yang datang menghadap Nabi SAW.) berkata: “Sesungguhnya saya mempunyai keponakan yang tidak mau berhenti berbuat haram”. Rasûlullâh SAW. bersabda: “Agama apa yang ia anut (ikuti)?”. Ia (lelaki yang datang menghadap Nabi SAW.) menjawab: “Dia (keponakanku yang tidak mau berhenti berbuat haram) mau shalat dan mengesakan Allah”. Rasûlullâh SAW. bersabda: “Perintahkanlah dia (keponakanmu yang tidak mau berhenti berbuat haram) meninggalkan agamanya, kalau dia (keponakanmu) tidak mau, perintahkanlah dia (keponakanmu yang tidak mau berhenti berbuat haram) membeli agamanya”. Kemudian lelaki tadi melaksanakan apa yang diperintahkan Rasûlullâh SAW. Setelah disampaikan (perintah Nabi SAW. kepada keponakannya), keponakannya enggan dan menolak untuk melaksanakan sabda SAW. Lalu lelaki tadi datang dan menghadap kembali kepada Rasûlullâh SAW. seraya berkata: “Sudah saya sampaikan (kepada keponakanku) perintah engkau (Nabi SAW.), tetapi dia (keponakanku) masih menyayangi agamanya”. Maka turunlah Ayat (Ayat: 48, Surat an-Nisâ’):
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا (٤٨)
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) jika Dia (Allah) dipersekutukan dengan yang lain, dan Dia (Allah) mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar”.



LARANGAN DAN AKIBAT DARI PERBUATAN DZALIM
Berikut beberapa ayat-ayat Al Quran tentang larangan dan akibat dari perbuatan zalim
  1.  “Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka) . Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim,” (QS. Al A’raaf  [7]: 41). Maka janganlah berbuat dzalim jika kita tidak mau mendapatkan adzab dari allah.
  2.  “Dan penghuni-penghuni surga berseru kepada Penghuni-penghuni neraka (dengan mengatakan): “Sesungguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami menjanjikannya kepada kami. Maka apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?” Mereka (penduduk neraka) menjawab: “Betul.” Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: “Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim” (QS : Al A’raaf [7 ] : 44). Hanya orang-orang yang dzalim lah yang akan diberikan adzab tersebut.
  3. Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS Al Qashash  [28]:59). Allah tidak akan menurunkan musibah yang dasyat didaerah manapun jika penduduknya tidak melakukan dzalim.
  4. Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu pelajaran bagi kaum yang mengetahui.” (QS. An Naml [27]:52). Rumah yang dimaksud adalah neraka bagi orang dzalim.
  5.  Zalim merupakan perbuatan yang di larang oleh Allah SWT dan termasuk dari salah satu dosa-dosa besar. Manusia yang berbuat zalim akan mendapatkan balasan di dunia dan siksa yang pedih di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an Surah Asy-Syura : 42   “Sesungguhnya dosa besar itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih“.
Berikut beberapa hadits Rasulullah SAW tentang larangan berbuat zalim :
1.      Dari Anas r.a berkata: Rasulullah SAW bersabda : “Hendaklah kamu menolong saudaramu yang menganiaya dan yang teraniaya“, sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, (benar) aku akan  menolong apabila ia dianiaya, maka bagaimana cara menolongnya apabila  ia menganiaya?” . Beliau menjawab: “Engkau cegah dia dari (perbuatan)  penganiayaan, maka yang demikian itulah berarti menolongnya” (HR. Bukhari)
  1. Rasulullah SAW bersabda, “Kezaliman itu ada 3 macam: Kezaliman yang tidak diampunkan Allah, Kezaliman yang dapat diampunkan Allah, dan kezaliman yang tidak dibiarkan oleh Allah. Adapun kezaliman yang tidak diampunkan Allah adalah syirik, firman Allah SWT: “Sesunggahnya syirik itu kezaliman yang amat besar!”, adapun kezaliman yang dapat diampunkan Allah adalah kezaliman seseorang hamba terhadap dirinya sendiri di dalam hubungan dia terhadap Allah, TuhannyaDAN KEZALIMAN YANG TIDAK DIBIARKAN ALLAH ADALAH KEZALIMAN HAMBA-HAMBA-NYA DI ANTARA SESAMA MEREKA, KARENA PASTI DITUNTUT KELAK OLEH MEREKA YANG DIZALIMI.”  (HR. al-Bazaar & ath-Thayaalisy)
Apabila kita berbuat salah terhadap orang lain, kita harus segera minta maaf,  selagi kita masih hidup dan untuk memperingan siksa di akhirat nanti. Abu Hurairah r.a. berkata: “Nabi SAW bersabda: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayaannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dianiaya untuk ditanggungkan kepadanya.” (HR. Bukhori, Muslim)
0 Responses